Mata seluruh
rakyat Indonesia saat ini tengah tertuju pada Omnibus Law UU Cipta kerja yang
disahkan kemarin pada tanggal 5 Oktober 2020 saat tengah malam. Di tengah
pandemi yang penularannya masih sangat tinggi ini DPR RI secara tergesa-gesa
mengesahkan RUU yang didagang-gadang mampu mengurangi pengangguran ini.
Berbagai elemen
masyarakat dari berbagai ormas, buruh dan mahasiswa secara terang-terangan
menolak UU Cipta Kerja. Gelombang protes dan aksi demo didengungkan di berbagai
daerah. UU ini dianggap hanya menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh.
Dalam beberapa gelombang demo tak khayal
menimbulkan korban jiwa dan kerusakan fasilitias umum.
Pro kontra UU
Cipta Kerja terus berlangsung. Mahasiswa dan buruh terus menyuarakan penolakan,
bahkan beberapa DPRD tak luput menyatakan penolakan terhadap UU ini. Di sisi
lain pemerintah terus berusaha mendengungkan bahwa UU ini akan membawa kemajuan
bagi ekonomi Indonesia dengan dipermudahnya investor untuk menanam modalnya di
Indonesia.
Para penolak dan
pendemo UU Cipta Kerja dianggap belum membaca apa yang mereka tuntut. Tak hanya
itu penolak UU ini dianggap hanya termakan hoax. Lalu, apakah memang benar isi
Omnibus Law UU Cipta Kerja ini positif dan tidak merugikan pihak buruh?
Nyatanya memang
terdapat beberapa pasal yang merugikan para buruh. Terdapat beberapa poin yang
jadi sorotan dan dianggap merugikan masyarakat.
1. Outsourching
Tanpa Batas
Jika kita menilik
UU lama pekerja outsourching bisa diangkat maksimal 3 tahun setelah itu akan
menjadi pekerja tetap.
"Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun," bunyi Pasal 59 ayat (1) UU
Nomor 13 Tahun 2003.
Namun jika pasal
di atas diperbandingkan dengan UU Cipta Kerja tidak ditentukan batas maksimal
pengangkatan pekerja outsourching.
“Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.”
bunyi UU Cipta Kerja Pasal 59 Ayat 1
Bisa disimpulkan
dari UU Cipta Kerja sangat merugikan buruh. Walaupun pengangkatan pekerja tetap
masih ada, akan tetapi waktu pengangkatannya tidak dijelaskan yang mana
berpotensi menjadikan outsourching seumur hidup.
2. Sanksi Bagi
Pengusaha Yang Dihapuskan
Aturan mengenai
sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus
lewat UU Cipta Kerja. Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 UU
Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pasal 91
ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan
tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum
pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan
juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Namun, dalam UU
Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan
seluruhnya.
Selain itu, UU
Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU
Ketenagakerjaan.
3. Tenaga Kerja
Asing Semakin Mudah Masuk
Dalam Perpres
Nomor 20 tahun 2018, TKA yang masuk ke Indonesia harus mengantongi sejumlah
izin antara lain Visa Tinggal Terbatas (VITAS), Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
"Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk," bunyi Pasal 42 UU Nomor
13 Tahun 2003.
Pasal 42
(1) Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemberi kerja
orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau
komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. pegawai
diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja
asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang
terhenti
karena keadaan
darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) , kunjungan bisnis, dan
penelitian untuk
jangka waktu
tertentu.
(4) Tenaga kerja
asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki
kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
(5) Tenaga kerja
asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
(6) Ketentuan
mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan berlakunya
UU Cipta Kerja, maka TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja karena tak lagi
membutuhkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Izin masuk
TKA dipangkas dan kini hanya membutuhkan RPTKA saja.
4. AMDAL
Sebelumnya, dalam
Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menyebutkan penyusunan dokumen Amdal melibatkan masyarakat dan
berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan.
Ketentuan Pasal
40 mengenai izin lingkungan juga dihapus dalam UU Omnibus Law Ciptaker. Dalam
UU 32/2009 menjelaskan izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha.
Selain itu, UU
Omnibus Law Ciptaker juga menghapus ketentuan dalam Pasal 93 UU 32/2009. Beleid
itu sebelumnya menyatakan, setiap orang dapat mengajukan gugatan ke PTUN
apabila perusahaan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan
tanpa disertai Amdal.
5. Pendidikan
Potensi Dikomersialiasai
Pasal 65
(1) Pelaksanaan
perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan
lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pasal
tersebut jelas mengatakan bahwa lembaga pendidikan harus memliki izin dalam
berusaha. Artinya izin usaha dalam pendidikan tersebut berpotensi jadi lahan
komersialisasi. Pasalnya beberapa lembaga pendidikan jika harus memiliki izin
usaha seperti pondok pesantren misalnya akan semakin memahalkan pendidikan.
Berdasarkan
pembuktian UU lama dan UU yang baru disahkan sudah jelas dampak negatif bagi
buruh khususnya sangatlah terlihat. Memang benar terdapat beberapa informasi
hoax tentang UU Cipta Kerja, tetapi menganggap para penolak termakan hoax merupakan
pengalihan isu belaka agar UU Cipta Kerja ini terkesan positif. Padahal
masahiswa dan buruh tentunya tidak asal turun ke jalan. Para pimpinan mahasiswa
dan serikat buruh tentunya telah melakukan kajian yang mendalam. Tentunya
kajian mahasiswa dan buruh lebih murni dibandingkan para pengamat dan politikus
yang sudah sarat akan kepentingan.
Oleh : Asnal Masyawi
0 Komentar