Pilkada sebentar lagi. Pemilihan Kepala Daerah yang diadakan
selama lima tahun sekali, merupakan momentum penentuan pemilihan pemimpin masa
mendatang yang diharapkan membawa kemajuan lebih baik lagi. Terciptanya
pemimpin yang bagus, tentu harus melalui proses kompetisi demokrasi yang bagus
pula. Ada beberapa hal yang menjadikan cacatnya suatu Demokrasi, salah satunya
Money Politik.
Money politik atau politik uang ialah memberi uang atau
bentuk barang/jasa kepada para pemilih untuk menentukan pilihan pada salah satu
calon atau peserta calon peserta pemilu.
Persoalan politik uang masih menghantui prosesi pilkada kali ini, sehingga akan mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri. Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu berkewajiban mengedukasi masyarakat agar menolak money politik. Dan juga mendorong partai politik peserta pemilu dan calon untuk tidak berkampanye menggunakan politik uang. Banyak orang yang beranggapan, praktek money politik sah-sah saja dan sudah menjadi tradisi.
Ada uang, baru menentukan pilihan. Memilih bukan karena visi misi dan program-programnya, tetapi seberapa banyak jumlah uang yang diperolehnya. Hal tersebut sudah menjadi wajar-wajar saja. Pemberian uang dianggap sebagai ganti upah mencoblos karena seharian libur bekerja. Pemahaman yang sesat tentunya demikian.
Proses demokrasi yang kotor akan menciptakan pemerintahan
yang bobrok dikemudian hari. Salah satu calon membeli suara dengan senilai
berapa rupiah dikalikan berapa ratus ribu jumlah pemilih, membuat biaya politik
menjadi sangat mahal. Padahal gaji dan tunjangan-tunjangan seorang Bupati tidak
sebanding dengan biaya politik diawal. Jadi, sangatlah tidak relevan jika ada
calon yang benar-benar tulus mengabdi dan memajukan daerah ketika money politik
masih digunakan sebagai jurus jitu dalam memnangkan kontestasi Pilkada kali
ini.
Sudah banyak regulasi perihal politik uang diantaranya UU
Nomor 7 Tahun 2017 pasal 278, 280, 284, 515, 523 dan UU nomor 10 Tahun 2016
tentang pilkada yang mengatur adanya jeratan hukum yang sama bagi pemberi dan
penerima.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 515 yang bunyinya, ” Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (Tiga Puluh Enam Juta Rupiah)”.
Perlu adanya kesadaran bersama untuk mengatasi problem tersebut. Money politik sudah menjadi hal biasa, ibarat penyakit kronis kita tidak menyadarinya akan menjadi sangat parah kalau tidak segera diobati. Inilah momen yang tepat untuk kita bersikap bijak untuk memilih pemimpin yang bersih, berkualitas, dan berkemajuan. Jangan berharap birokrasi yang bersih, jikalau praktek money politik masih menjadi hal biasa. Mungkin pembahasan seperti ini menjadi hal yang wagu dan aneh karena sebelumnya sudah menjadi kebiasaan wajar, tapi tidak bisa dipungkiri faktanya memang demikian.
Kita berharap dan optimis, seluruh masyarakat Rembang sepakat menjadikan politik uang sebagai musuh utama dan perilaku busuk demokrasi yang harus dibuang dan dikubur sedalam mungkin, dengan demikian tercipta marwah demokrasi ideal serta pemilu yang berkeadilan. Semoga Pilkada kali berjalan dengan lancar, tercipta pemimpin yang bersih dan membawa kemajuan dimasa mendatang.
Penulis : Ali Makmun
Editor : M.S. Burhan Qidmaya
0 Komentar