Di antara 11 tahapan pemilu, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak.
Alasan mendasar yang melatarbelakangi munculnya kekecewaan masyarakat tersebut akibat janji pemilu yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, selanjutnya diabaikan ketika kekuasaan telah tercapai.
Janji kampanye para kontestan pemilu seolah-olah hanya menjadi pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dipenuhi. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.
Akibatnya, demokrasi perwakilan di Indonesia saat ini mengalami masalah disconnected electoral yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili. Sehingga seringkali tindakan yang dilakukan oleh para wakil tidak linier dengan apa yang menjadi aspirasi dan keinginan dari orang-orang yang diwakili (publik).
Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.
Namun demikian, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013). Setidaknya ada dua arti penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.
Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak. Karena itu dalam sistem politik otoriter seorang diktator tidak perlu berjanji kepada siapapun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga.
Timbullah unek-unek saya mengenai Istilah "Tong Kosong Nyaring Bunyinya"
Istilah itu mungkin sudah tak asing lagi bagi sebagian orang. Siapa yang tak suka kalau ada pesta demokrasi "Nak nek deso istilahe coblosan".
Banyak calon-calon anggota dewan yang mencalonkan diri untuk maju dalam hal tersebut banyak visi misi yang diutarakan sebelum mencalonkan diri supaya apa? Supaya mereka di pilih masyarakat.
Masyarat pasti memilih pemimpin pasti tidak asal asal Karena masyarat ingin orang yang ada di atas adalah orang yang mempunyai kualitas dan mampu merubah lingkungan masyarakat dari beberapa bidang. Namun setelah calon-calon tersebut terpilih mereka akan lupa bahwa masyarakatlah yang menjadikan itu semua mereka seolah-olah sudah kuasa.
Janji-janji yg dulu pernah diutarakan kepada masyarakat seolah-olah hanya omong kosong. Semoga dengan adanya salah satu coretan ini mampu mewakili isi atau curahan hati masyarakat dan juga alangkah baiknya dewan-dewan yang sudah menjabat bisa melaksanan janji-janji tersebut. Supaya masyarakat yakin akan janji-janji yang sudah diutarakan sebelum mereka mencalonkan diri.
Dan supaya apa? Supaya negara ini maju dan berkembang.
Penulis : Muhammad Munib
Editor : Asnal Masyawi
0 Komentar