Di sebuah masa, orang-orang Nusa Bruney yang tinggal di pesisir Teluk Sampit dan sepanjang hilir Bengawan Sampit mengalami pagebluk (wabah penyakit) yang disebabkan oleh Setan Blarutan-sogrok weteng. Untuk menghindari wabah ini, mereka memutuskan untuk pergi berlayar menuju ke arah selatan samodra Bruney menuju Nusa Kendheng. Mereka yakin bahwa Setan Blarutan tidak akan berani menyebrangi samodra karena takut dengan ratu jin samodra bernama Bathari Hwa Ruh Na. Setelah berlayar selama sepuluh hari sepuluh malam, orang-rang orang yang dipimpin oleh Kie Seng Dhang ini melihat daratan Gunung Nusa Kendeng (sekarang disebut Gunung Ngargapura-Lasem) di arah timur.
Pemandangan di sebelah timur Nusa Kendeng membuat seisi penumpang kapal menjadi takjub dan tak sabar untuk segera mendarat. Di daerah inilah orang-orang Sampit, cikal bakal “Wong Jawa”, mendarat. Tak berapa lama kemudian perahu-perahu dari negeri Sampit membuang jangkar di pesisir pantai di sebelah timut Nusa Kendheng. Semua orang berlompatan turun menuju daratan baru yang membawa harapan kehidupan yang lebih baik dan juga kesejahteraan. Nyi Seng Dhang, istri pemimpin rombongan, juga bergegas turun untuk menyebarkan tanah yang ia bawa dari bumi Sampit.
Sambil mencium tanah dan menengadah ke angkasa, ia pun berdo’a “Semoga semua orang yang tiba di sini beserta keturunannya dapat memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Semoga berlanjut bagi seluruh keturunan orang-orang yang menjadi bangsa baru di Nusa Kendheng”. Laki-laki Sampit segera bergegas turun.
Dengan panduan Kie Seng Dhang yang sudah tua, mereka mencari tempat yang dekat dengan sumber air (tuk). Sambil dituntun anaknya yang cantik berumur 12 tahun bernama Nie Rah Kie, Kie Seng Dhang memimpin rombongan masuk ke hutan di Nusa Kendheng untuk mencari tempat yang tepat untuk membuat pemukiman. Di tengah perjalanan, Nie Rah Kie melihat bunga berwarna putih jernih dengan bau harum yang tumbuh di tebing yang mereka lewati.
Ia berkata kepada ayahnya “Nanti kalau aku sudah memiliki rumah dan pekarangan, akan kutanam bunga putih yang cantik itu”. Oleh Sang Putri, kembang itu dinamakan Melati. Selang waktu empat bulan, rumah-rumah telah didirikan dan perkampungan telah terbentuk. Untuk mengenang asal usul Kie Seng Dhang yang berasal dari desa Tanjung Malatayur, maka desa yang ditinggali Kie Seng Dhang dan anak keturunannya di sebut Desa Tanjungputri (sekarang menjadi desa Tanjungsari. Kec. Pandhangan/ Kragan, Kab. Rembang). Pada suatu hari warga Tanjungputri berkumpul di Balepertemuan banjar (desa) untuk membicarakan peraturan pemerintahan yang berlaku di Tanjungputri.
Dalam pertemuan ini disepakati beberapa hal yang akan menjadi aturan desa. Pertama, mengangkat Kie Seng Dhang untuk menjadi sesepuh dan Dhatu Tanjungputri seumur hidup. Wilayah kekuasaanya membentang dari pegunungan hingga pesisir Ngargapura, mulai Pandhangan hingga teluk Lodhan.
Kedua, Bumi Nusa Kendheng diganti sebutannya dengan sebutan Tanah Jawi, merujuk pada sebutan banteng betina yang sangat dikeramatkan oleh wong Lingga Nusa Kendheng.
Ketiga, orang-orang Sampit yang telah tinggal di tanah Jawi akan disebut sebagai wong Jawa yang berperilaku perhatian, pengertian dan tanggap, seperti banteng betina terhadap anaknya.
Keempat, tahun dimana orang-orang Tanjungputri menyebut diri mereka sebagai Wong Jawa ditandai dengan sebutan tahun Jawa-Hwuning 1 (230 SM). Orang-orang Tanjungputri kemudian mengucapkan janji suci.
Pertama, Wong Jawa sampai kapan pun akan tetap memgang teguh kepercayaan suci Hwuning yang merupakan naluri dari leluhur Nusa Bruney bangsa Chaow (bangsa pengembara) dari Nusa Hainan yang menyebar pada zaman jumajuja 3000 tahun yang lalu (1000 SM), jauh sebelum para guru agung dari Timur, seperti Laow Tze Tao, Budha, atau pun Konghucu lahir. Bangsa Chaow berasal dari Cina, tepatnya di hilir sungai Yang Tze Kiang yang diapit Pegunungan Kwen Lun dan Pegunungan Tang La di Provinsi Ching Hai.
Kedua, Wong Jawa dimanapun dan sampai kapanpun akan tetap mengagungkan ke Jawaannya dan mengembangkan seni budaya Jawa. Ketiga, Wong Jawa yang menyepelekan ke Jawa annya akan menjadi wong Jawa-jawal yang tidak memiliki akar. Hidupnya akan terus tenggelam dalam angan-angan dan impian.
Refrensi : Wawancara dengan Cagar Budaya Lasem
Kontributor : Revi Yunia
Editor : Asnal Masyawi
0 Komentar