Salah satu masalah yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan nilai-nilai sosial, khususnya nilai moral adalah makin maraknya pornografi dan pornoaksi ditengah masyarakat. Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk bentuk kejahatan sosial berupa perbuatan yang diasosiakan sebagai eksploitasi seksual rendahan.
Pornografi dan pornoaksi memang sudah lama diperdebatkan, diprotes dan bahkan di tentang banyak kalangan. Ironisnya, penyelesaian terhadap masalah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Penyelesaian umumnya terhambat karena terjebak pada perdebatan tentang definisi "pornografi". Masing-masing pihak memiliki penafsiran yang berbeda yang dapat ditarik ulur sesuai kepentingan si penafsir.
Perangkat hukum pun belum memiliki konsep yang jelas tentang masalah ini, akibatnya kasus-kasus pornografi pun lewat demikian saja. KUHP Indonesia mencantumkan batasan yang sangat tidak jelas berkaitan dengan pornografi. Pasal 282 ayat 1 misalnya, tertulis: barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal lain yang juga tidak banyak memberi penjelasan adalah Pasal 533 Ayat 1, di dalamnya tertulis: barangsiapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Kata-kata "melanggar kesusilaan" dan "mampu membangkitkan nafsu birahi remaja" pengertianya seringkali ditarik ulur.
Secara umum ada dua hal yang dapat dilihat sebagai penyebab maraknya pornografi dan pornoaksi, yaitu budaya patriarkhi dan komersialisme. Opini yang digulirkan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai "makhluk fungsional bagi laki-laki", lebih khusus lagi untuk "kegunaan seksual". Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks untuk sekedar memancing para konsumenya.
Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi: Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacur paksa. Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat.
Dari permasalahan yang terjadi, langkah paling tepat seharusnya membenahi akar permasalahan dari semuanya. Adanya pelaku pelecehan seksual serta penormalan terhadap aktivitas tersebut sedikit banyak berasal dari struktur berpikir masyarakat yang bersumber dari budaya yang ada.
Dengan demikian, sex education atau pendidikan seks terutama sejak usia dini adalah hal yang perlu digaungkan. Banyak anak-anak ketika beranjak dewasa tertarik dengan video porno. Sering kali ia dilarang untuk mengaksesnya karena hal itu dianggap sebuah hal tabu. Semakin dilarang, semakin anak ingin untuk mengetahui.
Kemudian ketika si anak tahu, tidak adanya pengarahan dari orang tua membuat anak menjadi liar dan tanpa arah. Hasrat mengajaknya untuk mengeksplore lebih jauh soal seks. Sekali lagi, semua itu tanpa bimbingan orang tua.
Hal ini dapat memicu anak tumbuh menjadi seseorang dengan kehidupan seks yang menyimpang. Seseorang dapat menjadi pecandu atau bahkan pelaku pelecehan seksual. Pendidikan seks dari orang tua sesuai porsi usia sangat perlu untuk anak supaya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk soal hal-hal berbau seksual.
Meskipun tak menutup kemungkinan bahwa pelaku pernah berada di posisi yang sama sebagai korban di masa lalunya dan mencoba melampiaskan pada orang lain, tetapi hal itu sebenarnya tetap berkaitan seperti rantai yang tak terputus. Berdaur dan intinya tetap budaya sebagai pangkal utama permasalahan.
Jadi, demikianlah masalah yang ada dalam geliat pelecehan seksual duniawi yang ada di masyarakat Indonesia saat ini. Semoga pikiran yang kabur kembali ke jalan yang benar untuk peradaban yang lebih maju. Semoga. Amin.
Kontributor : Habibur Rohman
Editor : Asnal Masyawi
0 Komentar