Sepertinya, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)
yang satu ini paling gak mau kalah. Padahal, kegiatannya sudah seabrek,
setahun periode kepengurusannya, sudah penuh dengan agenda kegiatan. Tapi, saya
pikir, begitulah memang seharusnya. Para pengurus organisasi mahasiswa, intra
maupun ekstra, berlomba-lomba melakukan inovasi dengan berbagai macam kegiatan
yang bermutu, mewadahi kegelisahan, minat, dan kebutuhan semua mahasiswa dalam
rangka membekali hard skill materi perkuliahan dengan aneka soft skill yang
dapat menunjang profesinya kelak.
Kali ini (5/12/2020), Jurnaliska mengadakan pelatihan menulis, menulis dalam segala bentuknya. Mulai menulis karya ilmiah, menulis artikel dan menulis berita. Saya mencoba menyusun materi pelatihan dengan eksekusi praktek langsung tiap sesinya, tapi, waktu senyatanya tidak cukup untuk merealisasikannya. Akhirnya seminggu pasca pelatihan, para peserta diwajibkan mengirim file tulisannya. Bagi yang tak mengirimkan, mereka tak berhak pula mendapat sertifikat pelatihannya.
Dialog terjadi cukup seru, peserta antusias dengan menanyakan kegelisahannya mengenai tulis-menulis. Tetapi ada satu pertanyaan yang saya rasa paling menarik. Pertanyaan itu datang dari aktifis jurnalistik kampus tetangga. Dia menanyakan tentang bagaimana cara merangsang minat kawan-kawannya untuk menulis, dalam segala bentuknya. Sepertinya, itu kegelisahan semua orang, dimana keinginan menulis ada tapi begitu berat untuk mendapat ide dan menggerakkan jemari untuk merangkai kata.
Beratnya tantangan itu, dikarenakan kita harus membentur budaya, budaya yang tak ramah dengan kebiasaan menulis, dengan kata lain kita sedang melawan kultur yang asing dengan budaya literasi, yang ada adalah budaya oral, monolog, bukan budaya baca-tulis. Lantas, apa yang kemudian harus dilakukan? Agar beban itu tak begitu beratnya?. Dari pada membentur sebuah budaya, lebih baik kita membuat budaya baru, atau membiasakan kultur literasi secara mandiri atau membuat komunitas literasi, dengan mngawalinya melalui paling tidak, tiga kebiasaan baik.
Pertama, adalah budaya membaca. Kita harus mulai akrab dengan tulisan, senang mengunyah bacaan sampai selesai, entah itu artikel, portal berita, makalah atau jurnal ilmiah sekalipun, layaknya melahap makanan yang kita sukai. Jangan berhenti, sebelum makanan itu habis, jangan berhenti membaca, sebelum sampai pada kata terakhir sebuah rangkaian tulisan. Dengan begitu, sedikit demi sedikit, lambat laun kita akan terbiasa dengan segala jenis tulisan dan bisa membaca dengan lebih cepat dengan memahami isinya.
Kedua, budaya diskusi. Diskusi tentunya tak bisa dilakukan sendiri, kita membutuhkan teman dialog. Dalam diskusi, ada proses dialektika, ada proses tukar menukar informasi. Kita dapat memberikan ide kepada orang lain dan kita sendiri juga akan dapat ide-ide baru yang memantik dialektika selanjutnya. Ide itu merangsang rasa ingin tahu kita, dan menggerakkan diri mencari segala informasi yang terkait dengannya. Kita pun tanpa sadar akan terus membaca dan membaca hal-hal yang baru lagi.
Sedangkan kultur ketiga yang sudah jelas adalah menulis. Menulis bisa dimulai dari hal yang paling sederhana dalam hidup, bisa apa saja yang kita pikirkan dan rasakan. Sedih, senang, marah, mendukung atau menentang gagasan, semua bisa kita tuangkan dalam tulisan. Dengan biasa membaca dan berdiskusi, kita bisa dapat ribuan ide, untuk diungkapkan dalam bahasa tulisan.
Selamat sepada sahabat-sahabat Jurnaliska dan semua insan yang suka budaya baca-tulis !!!
Penulis : Muhammad Ro’uf
0 Komentar